PENGERTIAN
BUDAYA
Budaya atau kebudayaan adalah berasal dari bahasa
sansakerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi ( budi atau
akal) diartikan sebagai hal hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa inggris , kebudayaan disebut culture, yang berasal dari bahasa
latin uaitu colere, yaitu mengolah atau mengerjakan Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur" dalam bahasa Indonesia. (Sumber :Wikipedia)
Definisi
Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari
diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan
ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi
budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan
oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda
dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan
individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di
Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut
membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan
menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya
yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan
hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu
kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan
memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain. (Sumber :Wikipedia)
Orang
Minang/Minangkabau
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah
kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau.
Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau,
bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat
daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang
Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota
provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan
menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak, yang bermaksud sama dengan
orang Minang itu sendiri.
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur
etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki,
serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan
melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat
diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah
melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan
Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa
Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat
penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnis ini juga telah
menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan
adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat
Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang
berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang
perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris
terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang
dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada
dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar,
seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di
luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Kuala Lumpur, Seremban,
Singapura, Jeddah, Sydney, dan Melbourne.
Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer
dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai
mancanegara. Nama Minangkabau berasal
dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas
Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa
ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari
laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat
mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan
menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat
menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang
lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu
langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau
besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai
nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya
menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan
juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama
Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama
Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari
Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar,
provinsi Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit,
Nagarakretagama bertarikh 1365, juga telah menyebutkan nama Minangkabwa sebagai
salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya. Begitu juga dalam Tawarikh
Ming tahun 1405, terdapat nama kerajaan Mi-nang-ge-bu dari enam kerajaan yang
mengirimkan utusan menghadap kepada Kaisar Yongle di Nanjing. Di sisi lain, nama "Minang"
(kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan
Bukit tahun 682 dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa
pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari
"Minānga" .... Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu
menduga, kata baris ke4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya
tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai
kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua
sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan.
Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa
"tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata
temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya
yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan
penyebutan Minang itu sendiri.
Asal
usul
Dari tambo yang diterima secara turun temurun,
menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar
Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih
kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang
sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun demikian kisah tambo ini sedikit
banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan
bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba
salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat
Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan
ke pulau Sumatera sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok
masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai
Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman
orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam
konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga
dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam,
dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan luhak
tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling,
dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan
nama Tuan Luhak.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang
lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep
rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk
ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan,
kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo
terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak
(kawasan pesisir barat).
Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan
dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai
dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal
yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus
berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama
Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam (murtad), secara langsung
yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya
disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk
melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama
pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri
yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan
Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan
pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat
manurun, Syarak mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara
agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan
dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun
dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini
dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama
pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan
Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan
dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem
pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari
tiga raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji
Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam
penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau pada saat bersamaan
muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi
adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul
kesadaran bersama bahwa adat berasaskan Al-Qur'an.
Adat dan budaya Minang
Budaya Minangkabau adalah kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat
Minangkabau dan
berkembang di seluruh kawasan berikut daerah perantauan Minangkabau. Budaya ini
merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di
Nusantara yang
sangat menonjol dan berpengaruh. Budaya ini memiliki sifat egaliter,
demokratis, dan sintetik, yang menjadi anti-tesis bagi kebudayaan besar
lainnya, yakni
budaya Jawa yang
bersifat
feodal dan sinkretik.
[1]
Berbeda dengan kebanyakan budaya yang
berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem
matrilineal baik
dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan sebagainya.
Sejarah
Berdasarkan historis, budaya
Minangkabau berasal dari
Luhak Nan Tigo, yang
kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan selatan
dari Luhak Nan Tigo.
[2] Saat ini wilayah budaya Minangkabau
meliputi
Sumatera Barat,
bagian barat
Riau (
Kampar,
Kuantan Singingi,
Rokan Hulu), pesisir barat
Sumatera Utara (
Natal,
Sorkam,
Sibolga,
dan
Barus), bagian barat
Jambi (
Kerinci,
Bungo), bagian utara
Bengkulu (
Mukomuko), bagian barat daya
Aceh (
Aceh Barat Daya,
Aceh Selatan,
Aceh Barat,
Nagan Raya,
dan
Kabupaten Aceh Tenggara), hingga
Negeri Sembilan di
Malaysia.
Budaya Minangkabau pada mulanya
bercorakkan budaya
animisme dan
Hindu-
Budha. Kemudian sejak
kedatangan para reformis
Islam dari
Timur Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan budaya
Minangkabau yang tidak sesuai dengan
hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori
oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak
Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya Minang
yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk
berkiblat kepada
syariat Islam.
Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam
pesta-pesta adat masyarakat Minang.
Reformasi budaya di Minangkabau
terjadi setelah
Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini
ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh
adat, dan
cadiak pandai (cerdik
pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat
Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium
Adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat
bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada
Al-Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan
abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau
berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau
jorong di Minangkabau memiliki
masjid,
selain
surau yang ada di tiap-tiap lingkungan
keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di
surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik
berupa ilmu bela diri
pencak silat.
Produk kebudayaan
A. Kemasyarakatan
dan filosofi
Kepemimpinan
Acara Batagak Penghulu untuk mengukuhkan pemimpin kaum di
Minangkabau
Masyarakat Minangkabau memiliki
filosofi bahwa "pemimpin itu hanyalah ditinggikan seranting dan
didahulukan selangkah." Artinya seorang pemimpin haruslah dekat dengan
masyarakat yang ia pimpin, dan seorang pemimpin harus siap untuk dikritik jika
ia berbuat salah.
[3] Dalam
konsep seperti ini, Minangkabau tidak mengenal jenis pemimpin yang bersifat
diktator dan totaliter. Selain itu konsep budaya Minangkabau yang terdiri dari
republik-republik mini, dimana nagari-nagari sebagai sebuah wilayah otonom,
memiliki kepala-kepala kaum yang merdeka. Mereka memiliki hak dan kewajiban
yang sama, serta dipandang sejajar di tengah-tengah masyarakat.
Dengan filosofi tersebut, maka
Minangkabau banyak melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah di berbagai bidang,
baik itu politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan. Sepanjang abad ke-20,
etnis Minangkabau merupakan salah satu kelompok masyarakat di Indonesia yang
paling banyak melahirkan pemimpin dan tokoh pelopor.
Mereka antara lain :
Tan Malaka,
Mohammad Hatta,
Yusof Ishak,
Tuanku Abdul Rahman,
Sutan Sjahrir,
Agus Salim,
Assaat,
Hamka,
Mohammad Natsir,
Muhammad Yamin,
Abdul Halim dan lain-lain.
Pendidikan
Budaya Minangkabau mendorong
masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak
kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi
Minangkabau yang mengatakan bahwa "alam terkembang menjadi guru",
merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk selalu
menuntut ilmu. Pada masa kedatangan Islam, pemuda-pemuda Minangkabau selain
dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga ditekankan untuk mempelajari ilmu
agama. Hal ini mendorong setiap kaum keluarga, untuk mendirikan surau sebagai
lembaga pendidikan para pemuda kampung.
Setelah kedatangan imperium Belanda,
masyarakat Minangkabau mulai dikenalkan dengan sekolah-sekolah umum yang
mengajarkan ilmu sosial dan ilmu alam. Pada masa
Hindia-Belanda, kaum Minangkabau merupakan salah
satu kelompok masyarakat yang paling bersemangat dalam mengikuti pendidikan
Barat. Oleh karenanya, di Sumatera Barat banyak didirikan sekolah-sekolah baik
yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta.
Semangat pendidikan masyarakat
Minangkabau tidak terbatas di kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan
tinggi, banyak di antara mereka yang pergi merantau. Selain ke negeri
Belanda,
Jawa juga
merupakan tujuan mereka untuk bersekolah. Sekolah kedokteran
STOVIA di Jakarta, merupakan salah satu
tempat yang banyak melahirkan dokter-dokter Minang. Data yang sangat
konservatif menyebutkan, pada periode 1900 – 1914, ada sekitar 18% lulusan
STOVIA merupakan orang-orang Minang.
[6]
Kewirausahaan
Orang Minangkabau dikenal sebagai
masyarakat yang memiliki etos kewirausahaan yang tinggi. Hal ini terbukti dengan
banyaknya perusahaan serta bisnis yang dijalankan oleh pengusaha Minangkabau di
seluruh Indonesia. Selain itu banyak pula bisnis orang-orang Minang yang
dijalankan dari Malaysia dan Singapura. Wirausaha Minangkabau telah melakukan
perdagangan di Sumatera dan Selat Malaka, sekurangnya sejak abad ke-7. Hingga
abad ke-18, para pedagang Minangkabau hanya terbatas berdagang emas dan
rempah-rempah. Meskipun ada pula yang menjual senjata ke
Kerajaan Malaka,
namun jumlahnya tidak terlalu besar.
[7] Pada awal abad ke-18, banyak
pengusaha-pengusaha Minangkabau yang sukses berdagang rempah-rempah. Di Selat
Malaka, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil, merupakan
pedagang-pedagang lintas selat yang kaya. Kini jaringan perantauan Minangkabau
dengan aneka jenis usahanya, merupakan salah satu bentuk kewirausahaan yang
sukses di Nusantara. Mereka merupakan salah satu kelompok pengusaha yang
memiliki jumlah aset cukup besar.
[8].
Pada masa-masa selanjutnya budaya wirausaha Minangkabau juga melahirkan
pengusaha-pengusaha besar diantaranya
Hasyim Ning,
Rukmini Zainal Abidin,
Anwar Sutan Saidi,
Abdul Latief,
Fahmi Idris,
dan
Basrizal Koto.
Pada masa Orde Baru pengusaha-pengusaha dari Minangkabau mengalami situasi yang
tidak menguntungkan karena tiadanya keberpihakan penguasa Orde Baru kepada
pengusaha pribumi.
Demokrasi
Produk budaya Minangkabau yang juga
menonjol ialah sikap demokratis pada masyarakatnya. Sikap demokratis pada
masyarakat Minang disebabkan karena sistem pemerintahan Minangkabau terdiri
dari banyak nagari yang otonom, dimana pengambilan keputusan haruslah
berdasarkan pada musyawarah mufakat. Hal ini terdapat dalam pernyataan adat
yang mengatakan bahwa "bulat air karena pembuluh, bulat kata karena
mufakat".
Abdurrahman Wahid dan
Nurcholish Madjid pernah mengafirmasi adanya demokrasi
Minang dalam budaya politik Indonesia. Sila keempat Pancasila yang berbunyi
Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan ditengarai berasal dari semangat
demokrasi Minangkabau, yang mana rakyat/masyarakatnya hidup di tengah-tengah
permusyawaratan yang terwakilkan.
Harta
pusaka
Dalam budaya Minangkabau terdapat dua
jenis harta pusaka, yakni harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta
pusaka tinggi merupakan warisan turun-temurun dari leluhur yang dimiliki oleh
suatu keluarga atau kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil
pencaharian seseorang yang diwariskan menurut
hukum Islam.
Harta pusaka tinggi adalah harta
milik seluruh anggota keluarga yang diperoleh secara turun temurun melalui
pihak perempuan. Harta ini berupa
rumah,
sawah,
ladang, kolam, dan
hutan.
Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk
kepala kaum. Hak pakai dari harta pusaka tinggi ini antara lain; hak membuka
tanah, memungut hasil, mendirikan rumah, menangkap ikan hasil kolam, dan hak
menggembala.
Harta pusaka tinggi tidak boleh
diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi
hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan di antara petinggi kaum,
diutamakan di gadaikan kepada suku yang sama tetapi dapat juga di gadaikan
kepada suku lain.
Tergadainya harta pusaka tinggi
karena empat hal:
·
Gadih gadang indak balaki (perawan tua
yang belum bersuami)
Jika tidak ada biaya untuk
mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.
·
Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur
di atas rumah)
Jika tidak ada biaya untuk mengurus
jenazah yang harus segera dikuburkan.
·
Rumah gadang katirisan (rumah besar
bocor)
Jika tidak ada biaya untuk renovasi
rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni.
·
Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu
yang terendam)
Jika tidak ada biaya untuk pesta
pengangkatan penghulu (
datuk) atau biaya untuk
menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.
Kontroversi
Hukum Islam
Menurut hukum Islam, harta haruslah
diturunkan sesuai dengan
faraidh yang sudah diatur pembagiannya antara
pihak perempuan dan laki-laki. Namun di Minangkabau, seluruh harta pusaka
tinggi diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari
garis keturunan ibu.
Hal ini menimbulkan kontoversi dari sebagian
ulama.
Ulama Minangkabau yang paling keras
menentang pengaturan harta pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam
adalah
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,
Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari,
dan
Agus Salim.
[9] Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam dan
khatib
Masjidil Haram Mekkah, menyatakan bahwa
harta pusaka tinggi termasuk harta
syubhat sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau
konsisten dengan pendapatnya itu dan oleh sebab itulah ia tidak mau kembali ke
ranah Minang.
[10] Sikap
Abdul Karim Amrullah berbeda dengan ulama-ulama di atas.
Beliau mengambil jalan tengah dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi
termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun
tidak boleh diperjualbelikan.
Pada hakikatnya, harta pusaka tinggi
merupakan amanah dari leluhur yang tidak diketahui siapa pemilik aslinya, dan
diwasiatkan berdasarkan garis keturunan ibu. Jika harta ini diwariskan layaknya
harta pusaka rendah atau warisan biasa, tentu harus jelas siapa yang
mewariskannya. Itulah alasan logis harta pusaka tinggi tidak diperbolehkan
untuk diwarisi oleh ayah.
B. Seni
Arsitektur
Arsitektur Minangkabau merupakan
bagian dari seni arsitektur khas Nusantara, yang wilayahnya merupakan kawasan
rawan gempa. Sehingga banyak rumah-rumah tradisionalnya yang berbentuk
panggung, menggunakan kayu dan pasak, serta tiang penyangga yang diletakkan di
atas batu tertanam. Namun ada beberapa kekhasan arsitektur Minangkabau yang tak
dapat dijumpai di wilayah lain, seperti atap bergonjong. Model ini digunakan
sebagai bentuk atap rumah, balai pertemuan, dan kini juga digunakan sebagai
bentuk atap kantor-kantor di seluruh Sumatera Barat. Di luar Sumatera Barat,
atap bergonjong juga terdapat pada kantor perwakilan Pemda Sumatera Barat di
Jakarta,
serta pada salah satu bangunan di halaman
Istana Seri Menanti,
Negeri Sembilan.
Bentuk gonjong diyakini berasal dari bentuk tanduk kerbau, yang sekaligus
merupakan ciri khas etnik Minangkabau.
Masakan
Memasak makanan yang lezat
merupakan salah satu budaya dan kebiasaan masyarakat Minangkabau. Hal ini
dikarenakan seringnya penyelenggaraan pesta adat, yang mengharuskan penyajian
makanan yang nikmat. Masakan Minangkabau tidak hanya disajikan untuk masyarakat
Minangkabau saja, namun juga telah dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh
Nusantara.
Orang-orang Minang biasa menjual makanan khas mereka seperti
rendang,
asam pedas,
soto padang,
sate padang,
dan
dendeng balado di rumah makan yang biasa dikenal
dengan
Restoran Padang.
Restoran Padang tidak hanya tersebar di seluruh Indonesia, namun juga banyak
terdapat di
Malaysia,
Singapura,
Australia,
Belanda,
dan
Amerika Serikat.
Rendang salah satu masakan khas
Minangkabau, telah dinobatkan sebagai masakan terlezat di dunia.
Masakan Minangkabau merupakan
masakan yang kaya akan variasi bumbu. Oleh karenanya banyak dimasak menggunakan
rempah-rempah seperti cabai, serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, dan
bawang merah. Kelapa merupakan salah satu unsur pembentuk cita rasa masakan
Minang. Bahan utama masakan Minang antara lain daging sapi, daging kambing, ayam,
ikan, dan belut. Orang Minangkabau hanya menyajikan makanan-makanan yang halal,
sehingga mereka menghindari alkohol dan lemak babi. Selain itu masakan
Minangkabau juga tidak menggunakan bahan-bahan kimia untuk pewarna, pengawet,
dan penyedap rasa. Teknik memasaknya yang agak rumit serta memerlukan waktu
cukup lama, menjadikannya sebagai makanan yang nikmat dan tahan lama.
Literasi
Aksara
Minangkabau
Masyarakat Minangkabau telah
memiliki budaya literasi sejak abad ke-12. Hal ini ditandai dengan ditemukannya
aksara Minangkabau.
Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah merupakan salah satu literatur
masyarakat Minangkabau yang pertama.
Tambo Minangkabau yang ditulis dalam
Bahasa Melayu,
merupakan literatur Minangkabau berupa historiografi tradisional. Pada abad
pertengahan, sastra Minangkabau banyak ditulis menggunakan
Huruf Jawi.
Di masa ini, sastra Minangkabau banyak yang berupa dongeng-dongeng jenaka dan
nasehat. Selain itu ada pula kitab-kitab keagamaan yang ditulis oleh
ulama-ulama tarekat. Di akhir abad ke-19, cerita-cerita tradisional yang
bersumber dari mulut ke mulut, seperti
Cindua Mato,
Anggun Nan Tongga, dan
Malin Kundang mulai dibukukan.
Pada abad ke-20, sastrawan
Minangkabau merupakan tokoh-tokoh utama dalam pembentukan bahasa dan sastra
Indonesia. Lewat karya-karya mereka berupa novel, roman, dan puisi,
sastra Indonesia mulai tumbuh dan berkembang. Sehingga
novel yang beredar luas dan menjadi bahan pengajaran penting bagi pelajar di
seluruh
Indonesia dan
Malaysia,
adalah novel-novel berlatarbelakang budaya Minangkabau. Seperti
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck,
Merantau ke Deli dan
Di Bawah Lindungan Ka'bah karya
Hamka,
Salah Asuhan karya
Abdul Muis,
Sitti Nurbaya karya
Marah Rusli,
dan
Robohnya Surau Kami karya
Ali Akbar Navis.
Budaya literasi Minangkabau juga melahirkan tokoh penyair seperti
Chairil Anwar,
Taufiq Ismail dan tokoh sastra lainnya
Sutan Takdir Alisjahbana.
Pantun
dan pepatah-petitih
Dalam masyarakat Minangkabau,
pantun dan pepatah-petitih merupakan salah satu bentuk seni persembahan dan
diplomasi yang khas. Pada umumnya pantun dan pepatah-petitih menggunakan bahasa
kiasan dalam penyampaiannya.
[14] Sehingga di Minangkabau, seseorang
bisa dikatakan tidak beradat jika tidak menguasai seni persembahan. Meski
disampaikan dengan sindiran, pantun dan pepatah-petitih bersifat lugas. Di
dalamnya tak ada kata-kata yang ambigu dan bersifat mendua. Budaya
pepatah-petitih, juga digunakan dalam sambah-manyambah untuk menghormati tamu
yang datang. Sambah-manyambah ini biasa digunakan ketika tuan rumah (
si
pangka) hendak mengajak tamunya makan. Atau dalam suatu acara pernikahan,
ketika pihak penganten wanita (
anak daro) menjemput penganten laki-laki
(
marapulai).
Selain berkembang di Sumatera
Barat, pantun dan pepatah-petitih Minangkabau juga mempengaruhi corak sastra
lisan di
Riau dan
Malaysia.
Contoh :
Ukiran
Minangkabau di dinding luar bagian depan Rumah Gadang
1.
Anak dipangku, kamanakan dibimbiang (Artinya :
anak diberikan nafkah dan disekolahkan, serta kemenakan dibimbing untuk
menjalani kehidupannya)
2.
Duduak marauk ranjau, tagak meninjau jarak (Artinya :
hendaklah mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, dan jangan menyia-nyiakan waktu)
3.
Dima rantiang dipatah, disinan sumua digali (Artinya :
dimana kita tinggal, hendaklah menjunjung adat daerah setempat)
4.
Gadang jan malendo, cadiak jan manjua (Artinya :
seorang pemimpin jangan menginjak anggotanya, sedangkan seorang yang cerdik
jangan menipu orang yang bodoh)
5.
Satinggi-tinggi tabang bangau, babaliaknyo ka
kubangan juo (Artinya :
sejauh-jauh pergi merantau, di hari tua akan kembali ke kampung asalnya)
Ukiran
Masyarakat Minangkabau sejak lama
telah mengembangkan seni budaya berupa ukiran, pakaian, dan perhiasan. Seni
ukir dahulunya dimiliki oleh banyak
nagari di Minangkabau. Namun saat ini seni
ukir hanya berkembang di nagari-nagari tertentu, seperti
Pandai Sikek. Kain
merupakan media
ukiran yang sering digunakan oleh masyarakat
Minang. Selain itu ukiran juga banyak digunakan sebagai hiasan
Rumah Gadang.
Ukiran Rumah Gadang biasanya berbentuk garis melingkar atau persegi, dengan
motif seperti tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola
akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan
juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam,
ke atas dan ke bawah. Disamping itu motif lain yang dijumpai dalam ukiran Rumah
Gadang adalah motif geometri bersegi tiga, empat, dan genjang. Jenis-jenis
ukiran Rumah Gadang antara lain
kaluak
paku, pucuak tabuang, saluak aka, jalo, jarek, itiak pulang patang, saik
galamai, dan
sikambang manis.
Tarian
Tari-tarian merupakan salah satu
corak budaya Minangkabau yang sering digunakan dalam pesta adat ataupun
perayaan pernikahan. Tari Minangkabau tidak hanya dimainkan oleh kaum perempuan
tapi juga oleh laki-laki. Ciri khas tari Minangkabau adalah cepat, keras,
menghentak, dan dinamis. Adapula tarian yang memasukkan gerakan silat ke
dalamnya, yang disebut
randai. Tari-tarian
Minangkabau lahir dari kehidupan masyarakat Minangkabau yang egaliter dan
saling menghormati. Dalam pesta adat ataupun perkawinan, masyarakat Minangkabau
memberikan persembahan dan hormat kepada para tamu dan menyambutnya dengan
tarian galombang. Jenis tari Minangkabau antara lain:
Tari Piring,
Tari Payung,
Tari Pasambahan,
dan
Tari Indang.
Bela
diri
Pencak Silat adalah seni bela diri
khas masyarakat Minangkabau yang diwariskan secara turun temurun dari generasi
ke generasi. Pada mulanya silat merupakan bekal bagi perantau untuk menjaga
diri dari hal-hal terburuk selama di perjalanan atau di perantauan. Selain
untuk menjaga diri, silat juga merupakan sistem pertahanan nagari (parik
paga dalam nagari).
Pencak silat memiliki dua filosofi
dalam satu gerakan. Pencak (mancak) yang berarti bunga silat merupakan gerakan
tarian yang dipamerkan dalam acara adat atau seremoni lainnya. Gerakan-gerakan
mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukkan. Sedangkan
silat merupakan suatu seni pertempuran yang dipergunakan untuk mempertahankan
diri dari serangan musuh, sehingga gerakan-gerakannya diupayakan sesedikit
mungkin, cepat, tepat, dan melumpuhkan lawan.
Orang yang mahir bermain silat
dinamakan pendekar (
pandeka). Gelar pendekar ini pada zaman dahulunya
dikukuhkan secara adat oleh ninik mamak dari nagari yang bersangkutan. Kini
pencak silat tidak hanya diajarkan kepada generasi muda Minangkabau saja, namun
juga telah menyebar ke seluruh Nusantara bahkan ke
Eropa dan
Amerika Serikat.
Musik
Budaya Minangkabau juga melahirkan
banyak jenis alat musik dan lagu. Di antara alat musik khas Minangkabau adalah
saluang,
talempong,
rabab, serta bansi. Keempat alat musik ini biasanya dimainkan dalam pesta adat
dan perkawinan. Kini musik Minang tidak terbatas dimainkan dengan menggunakan
empat alat musik tersebut. Namun juga menggunakan istrumen musik modern seperti
orgen, piano, gitar, dan drum. Lagu-lagu Minang kontemporer, juga banyak yang
mengikuti aliran-aliran musik modern seperti pop, hip-hop, dan remix.
Sejak masa kemerdekaan Indonesia,
lagu Minang tidak hanya dinyanyikan di Sumatera Barat saja, namun juga banyak
didendangkan di perantauan. Bahkan adapula pagelaran Festival Lagu Minangkabau
yang diselenggarakan di Jakarta. Era 1960-an merupakan masa kejayaan lagu
Minang. Orkes Gumarang pimpinan
Asbon Madjid,
merupakan salah satu kelompok musik yang banyak menyanyikan lagu-lagu khas
Minangkabau. Selain Orkes Gumarang, penyanyi-penyanyi Minang seperti
Elly Kasim,
Ernie Djohan,
Tiar Ramon,
dan
Oslan Husein,
turut menyebarkan musik Minang ke seluruh Nusantara. Semaraknya industri musik
Minang pada paruh kedua abad ke-20, disebabkan oleh banyaknya studio-studio
musik milik pengusaha Minang. Selain itu, besarnya permintaan lagu-lagu Minang
oleh masyarakat perantauan, dan menjadi faktor kesuksesan industri musik
Minang.
Upacara
dan festival
·
Turun mandi
·
Batagak pangulu
·
Turun ka sawah
·
Manyabik
Hubungan budaya minang dengan kehidupan
saya
Hubungan
budaya minang yang kental dengan kehidupan saya adalah kebiasaan orang tua saya
merantau keluar negeri untuk berdagang. kemudian orang tua saya sering memasak
masakan minang seperti sate padang , Rendang , Gulai Asam padeh, kalio jariang
dan lain-lain.
Opini
Menurut saya Indonesia
sangat kaya dengan kebudayaan yang menyebar di seluruh nusantara. Sehingga
karena sangat kayanya, Negara lain sangat ingin meniru kebudayaan kita dan
mengklaim budaya itu sebagai budaya mereka. Kenapa bisa terjadi demikian ? itu
semua terjadi akibat kurang pedulinya kita terhadap budaya kita sendiri .
Disaat banyak orang luar yang sangat mengagumi budaya Indonesia, justru kita
sendiri malah jatuh cinta dengan budaya luar.
Banyak sekali dampak negatif budaya luar yang
bisa merusak budaya kita. Seperti munculnya paham sekulerisme, liberalisme dan
paham-paham merusak lainnya. Juga seperti muculnya seni budaya-budaya dari luar
yang dapat menghancurkan budaya kita sendiri seperti di dalam dunia musik yaitu
munculnya boyband dan girlband. Anak-anak zaman sekarang justru lebih
mengetahui tentang nama-nama band atau lagu-lagu dari luar daripada lagu-lagu wajib nasional
.
Memang ada bagusnya jika kita mengikuti budaya luar
jika itu bisa bersifat positif tanpa bisa melupakan dengan budaya kita
sendiri. Seperti budaya bersepeda yang
dapat menyebabkan tubuh kita sehat. Budaya disiplin dengan waktu dan lain-lain.
Sumber Referensi :
Wikipedia